Gunung Sojol
Gunung Sojol 3025 mdpl merupakan Gunung tertinggi di propinsi Sulawesi Tengah, Gunung dengan ketinggian mencapai 3025 mdpl (data peta Bakosurtanal) terletak di Kecamatan Sojol Utara Kabupaten Donggala, Kecamatan sojol berjarak 190 Km dan memakan waktu perjalanan delapan jam dari Palu Ibukota Propinsi Sulawesi Tengah. Para pendaki biasanya memulai pendakian dari salah satu desa di kaki gunung sojol yaitu desa Siboang, untuk mencapai Desa ini dari kota Palu bisa menggunakan jasa angkutan umum dari terminal Mamboro palu dengan biaya Rp.100.000. Seperti umunya pendakian ke Gunung lainnya di Sulawesi Tengah, pendakian gunung sojol termasuk pendakian berat, hal ini dikarenakan panjangnya jalur/lintasan pendakian yang disebabkan titik strat pendakian yang dimulai dari bawah (-50 mdpl), berbeda dengan pendakian beberapa gunung dijawa yang titik start berkisar 500-100 mdpl. Selain itu kondisi medan yang sangat alami juga menyulitkan para pendaki, pendakian ke Sojo bukan sebatas trekking atau hiking saja, jarangnya pendakian ke gunung ini menyebabkan setiap pendaki harus membuka/merintis jalur sendiri, termasuk menentukan arah lintasan yang akan ditempuh, ditambah dengan kondisi hutan tropis yang sangat rapat. Dengan kondisi medan seperti diatas, kesiapan tim pendakian harus benar-benar matang, mulai dari perlengkapan navigasi, perbekalan hingga golok untuk merintis jalur. Beberapa kali pendakian yang dilakukan oleh beberapa tim pendaki baik dari sulteng maupun dari luar membutuhkan waktu pendakian berkisar antara 12-20 hari dilapangan. Dengan waktu tempuh sedemikian lama tentunya beban peralatan dan perbekalan semakin bertambah. Untuk menggapai puncak Anda harus melalui perkampungan Suku Pedalaman, berhati-hatilah apabila berpapasan dengan mereka, terdapat 10 pos menuju puncak, Gunung Sojol Juga Mempunyai Hutan yang sangat rapat, di puncaknya terdapat Triangulasi yang terbuat dari beton setinggi 1 M. “Mau coba naik Sojol, eh? Hati-hati di atas sana ketemu sama orang Dayak. Salah-salah nanti kena sumpit!!” Gambaran sosok penduduk pedalaman kawasan Sojol terus menari-nari di benak kami. Sosok bercawat, bersenjata sumpit panjang dan tombak serta sifat buas yang sering kami dengar baik sewaktu di Bandung maupun ketika menginjak kota Palu sampai desa Bonde di kaki gunung Sojol semakin menambah kewaspadaan dan keingintahuan yang besar untuk mengungkapnya. “Jea Leang, Mangge!! (Kita kawan)” adalah kalimat yang terpatri di kepala kami. Bahasa Laoje atau banyak yang menyebutnya sebagai “bahasa burung” hasil kursus sehari dengan masyarakat Bonde keturunan Laoje menjadi senjata kami untuk meredam kebuasan suku ter-asing di pedalaman Sojol. Fuyul (Gunung) Sojol berada di kawasan pegunungan Ogoamas, termasuk wilayah Kecamatan Balukang, Kabupaten Donggala, Propinsi Sulawesi Tengah. Gunung dalam kawasan cagar alam ini terletak di antara sisi barat timur perairan laut Sulawesi Tengah. Untuk mendaki Sojol dari sisi pantai barat, yang akan menjadi awal pendakian ini, ada kendala untuk mendapatkan informasi yang akurat. Berbeda dengan sisi timur yang dilalui jalur trans Sulawesi. Karena keterbatasan itulah, 3 orang diutus menjadi tim pendahulu, Galih, Yudi ‘Pentil’ dan Yayat ‘Kolotok’, untuk mengumpulkan informasi dan mengurus perijinan sampai ke Bonde, desa di titik awal jalur yang kami rencanakan. Hampir 2 minggu berselang setelah semua data dan ijin beres, 4 orang berikutnya, Irwanto, Djarot, Ayonk, dan saya, menyusul. Tiga jam lepas dari Cengkareng, cuaca panas menyengat Bandara Mutiara, Palu, menyatukan kami bertujuh yang bersiap memulai perjalanan ke titik awal. Mobil Elf putih meninggalkan terminal Palu, mengangkut 12 penumpang termasuk kami bertujuh plus 1 orang penggiat alam setempat yang kami ajak bergabung dalam pendakian ini. Mobil melaju tak mulus menyusur pantai barat Sulawesi Tengah dari Palu. Beberapa ruas jalan banyak yang rusak membuat pijakan gas tak stabil ditekan. Beberapa jembatan banyak yang putus. Selain itu, puluhan bahkan ratusan sapi dengan tenangnya menghalangi jalan aspal, membuat supir harus sabar menunggu para penguasa jalan pantai barat itu menepi. Enam jam didekap dalam mobil, akhirnya Bonde, dusun awal, dijelang. Bonde adalah sebuah dusun yang termasuk wilayah desa Balukang, kecamatan Dampelas Sojol, kabupaten Donggala. Dusun kecil di tepi bangkalang (sungai) Silambo itu hanya ditempati beberapa rumah saja. Berbagai suku, baik pendatang seperti dari Bugis dan Makasar, berbaur dengan masyarakat asli pedalaman yang sudah berinteraksi. Matahari mulai redup terbenam di ufuk barat. Rumah panggung yang disediakan kepala dusun terasa nyaman saat kaki dilonjorkan di atas rumah panggung. Keramahan Mada, pemilik rumah, serta istri semakin membuat nyaman hati kami. Satu hari menjelang pendakian, penentuan titik awal dilakukan untuk memastikan langkah kami selanjutnya. Kebun coklat dan sungai kami susuri di tengah terik matahari yang menyengat, membuat kulit terbakar. Setelah mengecek beberapa posisi, menjelang sore kami sepakat mengenai titik awal pendakian besok, yaitu awal percabangan Bangkalang Silambo, dan sebuah rumah di seberangnya akan menjadi start kami mendaki. Hari masih terlalu pagi bagi penduduk Bonde untuk memulai rutinitasnya saat kami berkemas mempersiapkan peralatan. Suara berisik yang ditimbulkan membangunkan pemilik rumah yang akhirnya ikut sibuk hilir-mudik melihat persiapan kami. Menjelang pukul delapan Waktu Indonesia bagian Tengah (WITA), setelah makan pagi, kami menumpang truk pengangkut pasir sampai tepian sungai. Kemudian kami lanjutkan dengan jalan kaki, termasuk menyeberang Bangkalang Silambo, menuju rumah yang telah ditandai kemarin. Baru saja kami tiba di rumah panggung yang dimaksud, langit tiba-tiba gelap dan petir menggelegar di atas gunung dan bukit di atas. Rintik hujan turun, semakin lama semakin deras. Selang beberapa menit setelah hampir 2 jam hujan mengguyur, warna air sungai berubah coklat dan semakin pekat serta permukaannya meninggi. Gelegak arus sungai terdengar keras dan alirannya semakin deras. Beberapa orang petani coklat dan pembalak hutan yang bersiap pulang tertegun dan mengurungkan niatnya menyeberang sungai. Setelah menunggu lama, air tak juga surut. Mereka kembali ke pondok sementara mereka. Saat kabut terbuka, puncakan-puncakan terlihat jauh di sana, puncakan yang akan kami jelang selama belasan hari ke depan. Titik awal Pagi datang bersama kesibukan persiapan yang dilakukan, di bawah tatapan keingintahuan penduduk di titik awal. Ransel disetel agar sesuai dengan punggung. Perbekalan pun diatur seefektif mungkin agar paket sejumlah 60 bungkus untuk 20 hari, seberat lebih dari 250 kg, dapat diangkut ke depan, aman dan tak cepat rusak. Suhu udara begitu cepat naik, peluh bercucuran saat langkah maju menerobos kebun coklat. “Tunggu saja disini, sementara kita cek dulu punggungan di depan,” kata saya yang bertugas menjadi pembuka jalur bersama Ayonk dan Agus, wakil dari PA Palu, ketika sampai di sebuah gubuk petani coklat menjelang satu punggungan. Memang pada bagian bawah, kaki Sojol memiliki tingkat kesulitan yang tersendiri dengan banyaknya punggungan kecil yang memiliki alur sendiri-sendiri. Seperti saat kemarin ketika mengecek titik awal dan mencoba naik salah satu punggungan, ternyata alurnya banyak menabrak dinding punggungan besar sehingga membentuk tebing dan jurang. Takut kejadian kemarin terulang, mengingat beban yang begitu banyak yang harus diangkut regu pengangkut logistik, saya berinisiatif agar mereka menunggu. Selang 1 jam kemudian saya kembali. “Ok, punggungannya sudah benar, langsung aja naik ikuti tanda bacokan tiga sampai pondok di atas!” kata saya. Ransel-ransel penuh beban di bawah terik suhu udara membuat sekujur badan basah oleh keringat. Nafas-nafas terdengar berat, menapak satu demi satu pijakan menanjak. Suara anjing ramai terdengar saat kami sampai di sebuah pondok pada sebuah punggungan yang tak terlalu lebar. Biji coklat yang disebar di tanah untuk dikeringkan menutupi bidang tanah yang harus dilewati. Sambil uluk salam pada penghuni pondok kami meminta ijin untuk lewat. Setiba di pondok itu, RPL atau regu pengangkut logistik harus kembali ke gubuk di bawah untuk kembali mengangkut sisa logistik yang tak bisa dibawa dalam sekali jalan. Sedangkan saya, Ayonk dan Agus terus maju ke depan membuka jalur sampai titik akhir yang direncanakan di hari pertama ini. Medan yang lebih berat Lintasan yang dilalui ternyata lebih berat dari lintasan sebelumnya. Kemiringan jalur bahkan mencapai 70 sampai 80 derajat. Selain kaki, tangan kami pun harus membantu berpegangan pada akar dan daun di sekitar lintasan yang dibuat. Mengingat RPL membawa beban yang berat, kami sebagai RPJ (regu pembuka jalur) selain menentukan dan membuka lintasan juga membuat pijakan dengan melobangi tanah. Untung saja lintasan dengan kemiringan curam ini hanya beberapa puluh meter saja sehingga kami tak terlalu lama menghabiskan waktu di satu lintasan itu saja. “Ok, di sini saja kita bermalam! Sepertinya tim di belakang tak akan bisa jauh dengan jalur seperti ini. Kita pasang flysheet dulu, nanti kita buka jalur ke depan dan kembali lagi ke sini!” putus saya. Belum sempat memasang flysheet sebagai tanda berhenti untuk regu di belakang, hujan turun semakin lama makin deras. Pohon pandan dan rotan yang rimbun di dekat lokasi tersebut kami gunakan untuk berlindung dari hujan, dan ternyata efektif, tak mampu ditembus air hujan. Selang 30 menit kemudian hujan berhenti, flysheet kami pasang bersamaan dengan datangnya RPL yang basah kuyup. “Di sini kita bermalam,” kata saya pada 5 rekan yang menjadi RPL. Setelah ransel dikosongkan oleh RPL, sekitar pukul 14.00 WIT mereka segera turun kembali ke pondok di atas punggungan untuk mengangkut sisa perbekalan dan perlengkapan. Sementara saya bertiga melanjutkan ke depan membuka jalur tanpa membawa ransel. Berbeda dengan vegetasi sebelumnya yang relatif mudah dilalui, lintasan ke depan ternyata lebih sulit dilalui. Bukan kemiringan medan yang menjadi kendala, tapi vegetasi semak belukar dengan rotan dan pandan yang rapat sangat sulit untuk ditembus. Tak terbilang luka-luka di tangan akibat duri dan sulur rotan serta pandan, seakan menguji ketabahan tekad kami untuk meneruskan niat mencapai puncaknya. Dua jam menebas hanya sekitar 300 meter jarak yang bisa kami tembus, itu pun hanya sebatas ruang yang hanya pas seukuran tubuh kami yang tak membawa ransel. “Tak apalah, besok kita perbesar jalurnya, biar bisa dilalui RPL,” pikir kami. Setengah jam kemudian ketika kembali ke lokasi dimana flysheet didirikan, ternyata RPL belum seluruhnya berkumpul. “Masih ada satu bullsack yang belum terangkut. Kolotok sedang mengambilnya,” lapor ‘Mas Item’, pendaki tertua di pendakian ini. Menjelang maghrib, Yayat yang dipanggil Kolotok itu dengan tubuh basah kuyup bergabung kembali. Malam itu, kantuk begitu cepat datang membuai tidur kami yang sangat lelap. Hhh, sungguh hari yang melelahkan... Hari kedua pendakian tak berbeda dengan hari pertama. Beban yang masih sarat, rotan dan pandan masih menjadi kendala ketika harus bergerak cepat memperpanjang jarak. Kami mengulangi pengalaman sebelumnya saat bermalam di hari ke dua: udara yang panas dan tidur tanpa tenda. Namun kini fatal. Kami lupa bahwa kemarin kami belum beradaptasi dengan aktivitas berat ini sehingga tubuh cepat lelah dan dapat tidur nyenyak tak merasakan keadaan sekitar. Di hari ke dua ini kami mendapatkan pelajaran pahit. Saat malam mulai datang, puluhan bahkan ratusan nyamuk datang menyerbu. Bukan itu saja, bermacam kutu terasa menggerayang di tubuh kami. Suara dengingan nyamuk dan garukan di badan harus kami rasakan sepanjang malam. Lotion anti nyamuk hanya sejenak menghentikan serbuannya karena keringat tubuh di udara yang panas ini dengan cepat melunturkannya. Pagi datang, dengan malas kami hadapi. Kurang tidur semalam sangat terasa di pagi ini. “Kenapa mata lu bengkak, Tok,” tanya Djarot pada Kolotok. “Kena nyamuk, euy!” jawab Kolotok dengan lesu. Rupanya tadi malam untuk menghindari serbuan nyamuk, Kolotok dapat ide menutup seluruh tubuhnya dengan sarung dan hanya menyisakan bagian matanya yang terbuka. Sadisnya, nyamuk Sojol ternyata tak pilih-pilih tempat. Ketika seluruh tubuhnya terbungkus sarung dan hanya bagian mata itu saja yang terbuka, bagian itulah yang diserangnya. Lumayan, ‘penderitaan’ Kolotok cukup menyegarkan suasana pagi yang muram ini. “Uff, apa ini?” Ayonk memeriksa bagian tubuhnya. Sebentuk kecil kutu tengah mencari bagian tubuhnya untuk digigit. “Gila, ini sih kutu babi!!” Kekhawatiran kami ketika melintasi banyak kubangan-kubangan babi di sepanjang lintasan ternyata terbukti. Hari-hari pendakian setelah hari ketiga, selain masih terdengar suara chainsaw di lembahan, kutu babi dan pacet menjadi menu rutin pemeriksaan badan di sela-sela istirahat. Ketika hujan datang, di siang hari saat sampai di kemah I, kami mandi sepuas-puasnya membersihkan badan. Tak kami hiraukan lagi waktu tersisa untuk menambah jarak. Tenda berdiri di hari ke tiga ini, tak rela lagi kami berbagi darah dengan nyamuk dan kutu. Malam itu dengingan nyamuk hanya mampu berputar di sekitar tenda. “Rasain, Lu!!” Puncak 1229 “Tadi kita sudah sampai di atas puncakan, sepertinya itu puncak 1229!!” laporan pembuka jalur, Ayonk, Kolotok, Djarot dan Agus. “Orientasi tidak?” tanya saya. “Nggak bisa, tertutup kabut,” jawab Kolotok. “Ok, besok kita bergerak bersamasama. Semua beban kita bagi rata, masing-masing 2 paket,” putus saya di hari ke 8 itu. Belum jam delapan kami berdelapan sudah siap dengan ransel di punggung. Turunan dan tanjakan terasa menguras tenaga. Dan yang paling mengesalkan adalah rotan dan durinya. Tak terhitung berapa kali kami harus terjerembap ketika kaki terkait rotan yang menjalar di tanah, atau terjengkang ke belakang ketika sulur rotan berduri mengait ransel, saat berusaha maju. “Mana puncaknya, Tok ?” “Eh, ternyata salah euy, puncak 1229 masih di depan,” jawabnya sambil cengengesan. Yah, kesalahan yang cukup bisa kami terima akibat kabut dan kanopi yang lebat menyulitkan untuk orientasi. “Okelah dirikan saja kemah di sini, sementara saya, kolotok dan Djarot membuka jalur ke depan,” usul saya yang langsung disetujui. Ketika kami bertiga membuka jalur, seperti biasanya rotan dan pandan mendominasi vegetasi yang harus kami tembus. Namun kali ini rotan yang kami hadapi lebih besar dari rotan sebelumnya, bahkan ada rotan yang memiliki diameter 20 sampai 30 centimeter, tentunya dengan duri yang lebih besar. Belum lagi pacetnya, juga terasa lebih banyak dibandingkan sebelumnya. Tiga jam kemudian kami bertiga bergabung di kemah yang kami dirikan. “Jalur sudah kita temukan, kita pindah punggungan ke kiri untuk menghindari kemungkinan ketemu tebing,” kata saya. Memang lintasan menuju kemah 2 harus lebih hati-hati kami tentukan. Bentukan kontur di peta 1:50.000 menunjukan ada 2 kontur yang hampir rapat dan biasanya akan membentuk medan yang curam. Belum lagi cerita pendakian sebelumnya, mereka naik dari titik awal yang beda dan bergabung ke jalur yang kami buat dan mereka harus menerima kegagalan karena terhadang tebing ketika mencoba mencapai kemah 2, kemah rencana kami. “Besok, saya, Ayonk, Kolotok dan Agus membuka jalur dan yang lain menyusul kemudian,” hasil briefing malam ke-9 itu menjadi keputusan untuk pergerakan esok. Wilayah berburu suku Laoje Hujan turun dengan deras ketika kami mengawali pagi. Tak terdengar nyanyian burung yang biasanya mengiringi mentari saat pagi datang. Di tengah guyuran hujan yang membuat seluruh tubuh dan pakaian basah kuyup, kami berempat membuka jalur menuju puncakan 1229. Raincoat tak kami kenakan di medan penuh rotan dan duri ini. Selain tak leluasa untuk menebas, duri rotan siap mengoyak pakaian antiair itu. Satu jam setelah makan siang, kami berhasil mencapai punggungan menjelang puncak 1229 m dpl. Di punggungan itulah kami dirikan kemah, sementara saya berempat terus membuka jalur sampai kemah 2 tanpa ransel. Medan yang dilalui memang cukup curam, untungnya kami tak terlalu banyak menebas. Sisa-sisa jalur yang dibuat suku pedalaman penghuni Fuyul Sojol ini masih agak terbuka dan pijakannya lebih padat. Suku pedalaman? Itu hanya dugaan kami. Hal itu diperkuat dengan banyaknya bekas-bekas yang kami temukan di sepanjang jalur, seperti bekas trap (jebakan binatang) dan pondok sementara yang sudah hancur. Konon, walaupun suku Laoje --suku pedalaman itu-- menempati daerah lebih ke timur dari jalur yang kami buat, namun daerah lintasan kami termasuk areal berburu suku tersebut. Beberapa kali kami temukan trap yang masih aktif, namun beberapa sudah mati bahkan satu trap hanya menyisakan tulang kaki di ujung talinya. Dugaan kami, anoa serta babirusa yang terjerat itu tak sempat mereka cek sehingga kedua binatang itu mati lemas dalam jebakan dalam waktu yang lama. Kemah 2 di ketinggian 1336 m dpl berhasil kami tembus. Tapi walaupun kami namakan kemah, tidak kami gunakan untuk bermalam. Kami berempat kembali turun ke punggungan menjelang 1229 m dpl untuk bermalam. Ujian Sojol “Setelah puncak 1336 ini, kita turun 6 kontur. Hati-hati, jalurnya tipis!” Penggambaran medan lintasan di peta membuat kami meningkatkan konsentrasi. Menebas sudah tak lagi selebat sebelumnya. Jalur yang tipis berbatu serta menurun membuat lintasan yang kami pilih sedikit terbuka. Kami berpegangan pada akar dan pohon, turunan yang kami waspadai ini memang sangat curam. Gravitasi bumi begitu terasa apalagi dengan beban di punggung yang masih sarat. Saat memilih pijakan pun harus hati-hati. Batuan-batuan di lantai hutan lintasan ini begitu rapuh dan goyang saat dibebani. Sepertinya kami harus berterimakasih pada akar dan pohon yang beberapa kali menjadi penyelamat saat kaki kami terpeleset salah memilih pijakan. Tiba di dasar turunan, lintasan semakin tipis. Kiri kanan kami kedalaman cukup mendebarkan, menguji konsentrasi yang tinggi. Panjang lintasan di dasar turunan ini memang tak terlalu panjang, tapi lintasan tipis bentukan dari pertemuan awal lembahan ini sangat minim pohon untuk pegangan. Alhasil, bukan cuma kaki yang menapak di batuan lintasan tipis selebar 40 sampai 60 centimeter itu, tangan pun ikut pula berpegangan pada batu yang seharusnya menjadi pijakan. Kadangkala kami maju dengan setengah membungkuk, atau berlagak seperti pemain sirkus yang sedang meniti tali. Untunglah lintasan sepanjang kira-kira 100 meter itu bisa kami lewati sampai akhirnya kami berpegangan pada sebuah batu besar di hadapan kami. Berakhirkah ujian konsentrasi ini? Ternyata tidak! Batu besar itu ternyata menghalangi jalur yang seharusnya menjadi lintasan kami. Naik ke atasnya, terlalu tinggi. Melipir ke sisi kanan batu itu satu-satunya cara untuk menghindarinya. Tak sejauh lintasan sebelumnya memang, namun selain badan harus mepet ke badan batu, pijakan kaki bukan lagi tanah atau batu. Tapi hanya akar-akar pohon yang merambat sementara bagian bawahnya kosong. Cukup mendebarkan ketika kaki kami menapaknya, akar itu terasa bergoyang saat dipijak. Satu-satu kami berhasil melewati lintasan akar sepanjang 10 meter itu sampai nafas lega menghembus saat kaki kembali memijak tanah. Lintasan selanjutnya memang masih tipis dan menanjak. Pohon dan akar kembali membantu tubuh kami saat menambah ketinggian dan berhasil menemukan daerah yang cukup lebar untuk mendirikan tenda. Kicau burung saling bersahutan di pagi yang cerah. Sinar matahari satu-satu berhasil menerobos lebatnya kanopi hutan. Diiringi nyanyian burung, langkah kembali terayun menembus belukar rotan yang mengisi ruang-ruang bawah hutan rimba Sojol. Kubangan-kubangan air banyak ditemukan sepanjang lintasan bekas hujan semalam. “Ada gubuk di depan!!” Degup jantung sedikit terpacu, terbayang sosok bercawat dengan sumpit dan tombak yang banyak kami dengar sebelumnya. “Lea Jeang, mangge!!” kalimat yang paling kami hapal itu kami kumandangkan seraya mendekati gubuk. Tak terdengar jawaban. Semakin dekat, gubuk tersebut terlihat sudah cukup lama tak lagi dipergunakan walaupun beberapa alat masak tradisionil masih tersimpan di dalamnya. Selain itu, banyak tali plastik seperti tali jebakan yang sebelumnya kami temui, tergulung diselipkan di dinding gubuk. Satu jerigen terisi setengah tersimpan di sudut. “Hmhh, mungkin ini hanya gubuk persinggahan ketika mereka berburu,” pikir kami. Sedikit meneliti dan memeriksa isi gubuk, banyak sekali ditemukan tulang belulang babi hutan di sekitar gubuk. Rupanya binatang ini menjadi makanan mereka. Mirip Obelix dan Asterix orang Galia, canda kami. Melewati Kemah 3 Jarak terus kami tambah walau hujan turun dengan deras sejak siang sampai sore. Suhu yang dingin menusuk di bawah curah hujan, membuat kami menghentikan langkah untuk membuat perlindungan. Selain itu persediaan air menipis. Sungguh sayang kalau sampai hujan reda dan kami tak sempat menampungnya. Tenda didirikan pada sebuah dataran memanjang. Dengan tubuh setengah menggigil, kami menampung air hujan ke dalam semua jerigen, botol dan kantung air. Teh dan kopi panas dengan cepat tersaji, sangat terasa hangat di perut, apalagi pakaian kami masih basah kuyup. Hujan reda hampir pukul 7 malam bertepatan dengan sajian makan malam racikan Galih yang terasa menggairahkan selera. Ditemani api unggun yang mulai kuat panasnya, di antara jemuran pakaian di sekeliling areal tenda, satu-satu bintang mulai muncul menambah kenikmatan makan malam ini. “Menurut perhitungan sih, Kemah 3 bakal kelewat hari ini. Mudah-mudahan tekor hari kemarin bisa kebayar sekarang.” Perkiraan kami ini didukung dengan medan lintasan berupa punggungan lebar. Selain itu rotan sudah semakin jarang sehingga lintasan yang kami pilih lebih terbuka tak perlu banyak menebas. Satu jam berjalan, Kemah 3 berhasil kami lalui. Pada satu pertemuan punggungan kami sempat mencari dan memperkirakan lintasan yang pernah dibuat pendaki sebelumnya yang bergabung ke lintasan kami. Bayangan mengikuti jalur yang sudah ada bekas pendaki sebelumnya akan memudahkan kami, luluh ketika menghadapi medan sebenarnya. Waktu yang cukup panjang sejak terakhir pendakian sekitar 3 tahun lalu membuat belukar kembali menutupnya. Belum lagi robohan pohon banyak menghalangi lintasan. Tanjakan, turunan tajam dan tipis kembali harus ditempuh. Bangkalang Balukan yang menjadi patokan (stringline-garis batas) sebelah utara atau sebelah kiri kami terdengar mengguruh jauh di kedalaman lembah di bawah sana. Memasuki hutan berlumut tebal, batu-batu yang banyak mengisi lantai hutan menyulitkan kami mencari tempat untuk mendirikan tenda di sore hari ke 11 ini. Kabut perlahan mulai turun, batara kala mulai menyelubungi hari yang semakin tua. Setelah mencari beberapa kali tempat mendirikan tenda, di tengah kepungan lumut tebal yang dingin, malam berlalu dalam dengkuran yang gelisah. Puncak!! Pagi yang basah di antara lumut tebal membuat malas untuk keluar tenda. Tidur yang terganggu gatal di sekujur tubuh akibat kutu babi dan pacet menjadi penyebab keengganan memulai hari. Tapi apa daya, Sojol masih merentang jarak di ketinggian sana. Ransel kembali bertengger dengan angkuhnya di punggung kami. Tanjakan demi tanjakan di hutan terselimut lumut dan kabut mengantarkan kami di sore hari ke-12 itu pada tulisan di seng yang dipaku pada sebuah pohon, “PUNCAK!!” Namun, kami harus meredam sejenak semangat untuk menggapainya. Malam yang segera datang menjelang menunda pencapaian puncak. Malam yang dingin di hutan lumut ditemani bintang bertaburan serta sepotong bulan di angkasa menghembuskan tiupan angin yang menggigilkan. Mengikuti tanda jalur berupa pita yang diikat ke batang pohon, lintasan terasa semakin melipir punggungan. Semakin lama lintasan semakin miring, tipis dan curam. Sempat kami menjumpai sebuah gua, terlihat dari jejak-jejak dan bekas yang tertinggal. Dugaan kami, gua itu menjadi tempat sementara untuk berteduh penghuni asli gunung ini. Melihat jejak itu pula, kami menduga lintasan ini adalah lintasan penduduk pedalaman saat berburu. Pada sebuah dataran agak lebar, sambil mempersiapkan makan siang, orientasi dilakukan. Ternyata dari hasil orientasi, jalur yang kami ikuti memutari kaki puncak Sojol dan kami berada hampir di utara puncak Sojol. Jalur pelipiran ke depan masih terus bermain di kemiringan curam. Setelah meyakinkan posisi, kami putuskan untuk langsung naik berpatokan pada sudut kompas 172°. Dengan sudut itu, kami yakin akan langsung menuju puncak Sojol. Usai makan siang, rencana dilaksanakan. Jalur yang dipilih adalah sebuah punggungan lebar sehingga cukup mudah untuk menembusnya. Kabut tebal turun sangat cepat ketika sampai di dataran sekitar puncak. Pandangan ke sekitar sangat terbatas baik oleh rapatnya pohon dan kabut yang semakin tebal dan mulai menurunkan gerimisnya. Triangulasi Konon menurut cerita, di puncak Sojol terdapat triangulasi walaupun pada peta sama sekali tidak digambarkan adanya triangulasi tersebut. Dataran landai sekitar Sojol akhirnya kami telusuri untuk mencari dan membuktikan adanya triangulasi itu. Sayang, gerimis semakin deras sementara kabut bukannya membuka malah semakin tebal memaksa kami untuk mencari areal untuk bermalam. Petir menggelegar dibarengi hujan deras berpadu dengan angin menderu membawa suhu yang terasa lebih dingin dari hari-hari sebelumnya. 6°C, man!! Hujan pembawa berkah --dengan penuhnya seluruh tempat air-- reda 2 jam kemudian. Angin dari lembahan terus mendera menambah dingin suhu udara. Kami yang berteduh di bawah flysheet sambil menahan dingin mulai bergerak membangun tenda. Angin dari lembahan terus menerjang diiringi suara yang menyeramkan. Malam belum lagi menjelang tapi kami lebih nyaman berada di dalam dekapan kehangatan tenda. Bahkan ajakan makan malam dari tenda sebelah yang bertugas memasak dengan malas kami tanggapi. Hanya saja cacing-cacing di perut dengan buas berontak membuat kami keluar tenda yang langsung disambut suhu yang dingin. Sampai minus derajat sih pasti tak mungkin, walau hidung kami dengan tak sadar terus mengucurkan cairan. Tak berminat lagi kami melihat thermometer yang digantung di luar sana. Perut terisi, tubuh terasa lebih hangat. Lebih hangat lagi ketika sleeping bag Eiger —salah satu sponsor pendakian ini— membungkus seluruh tubuh di dalam tenda. Esok, kami kembali harus mencari dan membuktikan cerita tentang triangulasi dan memastikan keberadaan kami di puncak Sojol!!!
1 komentar:
mantaapp...
Posting Komentar