Cara Buat Blogg

Haloo Semuanya...
Kali ini saya akan mempostingkan tentang cara membuat blog.

Pertama - tama kita harus login dulu di www.blogger.com. saat sudah login, ada bebarapa pengaturan yang di ajukkan kepada kita.
Langsung saja kita ke cara Membuat blog.

Kemudian click "Lanjutkan ke Blogger". Dan akan ada lagi jendela yang muncul seperti di bawah ini:

Kemudian click "Blog Baru". Kemudian akan muncul jendela kecil untuk mengisi nama, alamat blog dan tema blog seperti di bawah ini

Setelah kita mengisiskan nama, alamat blog dan menentukan tema kita, click "Buat Blog". dan blog anda siap untuk di gunakan.

Itulah informasi yang bisa saya bagi – bagi untuk semuanya.
Terima Kasih.
Silahkan Like Dan Koment yah.......









  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

SEJARAH KOTA PALU (SUL-TENG)

SEJARAH KOTA PALU (SUL-TENG)

tadi lagi asik2 maen fesbuk, trus dapat usulan dari fesbuk yg ada di kolom kanan atas di beranda dengan gambarkecil foto museum negeri palu. merasa tertarik, langsung sy klik mnjadi penggemar dari page'nya musem negeri. baca2 info di dindingnya, ketemu info peristiwa terbentuknya kota palu. sepertinya informasi ini sangat berguna bagi yg membutuhkan, sekalian saja sy bagikan melalui blog sy ini.

A. SEJARAH TERBENTUKNYA KOTA PALU

Kota Palu awalnya adalah kota kecil yang menjadi pusat kerajaan Palu. Setelah penjajahan Belanda maka kerajaan ini merupakan bagian dari wilayah kekuasaan, Onder Afdeling Palu. Onder Afdeling Palu membawahi 3 Landschap yakni :

1. Landschap Palu yang terdiri dari :
   a. Distrik Palu Timur; 
   b. Distrik Palu Tengah; dan
   c. Distrik Palu Barat
2. Landschap Kulawi
3. Landschap Sigi Dolo


Pada saat Perang Dunia II sekitar tahun 1942 Kota Donggala sebagai ibukota Afdeling Donggala dihancurkan baik oleh pasukan Sekutu maupun Jepang sehingga pusat pemerintahan dialihkan ke Palu sekitar tahun 1950, yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 tahun 1950 menjadi wilayah daerah Sulawesi Tengah dan berkedudukan di Poso, sedangkan Kota Palu hanya merupakan tempat kedudukan Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) setingkat Wedana. Lebih jauh Kota Palu berkembang setelah dibentuknya Residen Koordinator Sulawesi Tengah Tahun 1957 membuat status Kota Palu menjadi Ibukota Karesidenan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 1964 dengan terbentuknya Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah, telah memberi arti dan peran yang lebih baik bagi Kota Palu karena menjadi Ibukota Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah.

Dengan semakin besarnya peran kota ini dalam bidang pemerintahan dan pembangunan, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1978 maka Kota Palu di tetapkan menjadi Kota Administratif.

Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1994 telah dibentuk Kotamadya Daerah Tingkat II Palu yang mempunyai Wilayah meliputi : Kota Administratif Palu dan  Sebagian wilayah Kecamatan Tavaili

Secara administratif Wilayah Kota Palu terdiri dari : 
a. Kecamatan Palu Utara; 
b. Kecamatan Palu Timur;  
c. Kecamatan Palu Barat; dan 
d. Kecamatan Palu Selatan






Sejarah Peristiwa Kota Palu
Palu adalah “Kota Baru” yang letaknya di muara sungai. Dr. Kruyt menguraikan bahwa Palu sebenarnya tempat baru dihuni orang (De Aste Toradja’s van Midden Celebes). Awal mula pembentukan kota Palu berasal dari penduduk Desa Bontolevo di Pegunungan Ulayo. Setelah pergeseran penduduk ke dataran rendah, akhirnya mereka sampai di Boya Pogego sekarang ini.
Kota Palu sekarang ini adalah bermula dari kesatuan empat kampung, yaitu : Besusu, Tanggabanggo (Siranindi) sekarang bernama Kamonji, Panggovia sekarang bernama Lere, Boyantongo sekarang bernama Kelurahan Baru. Mereka membentuk satu Dewan Adat disebut Patanggota. Salah satu tugasnya adalah memilih raja dan para pembantunya yang erat hubungannya dengan kegiatan kerajaan. Kerajaan Palu lama-kelamaan menjadi salah satu kerajaan yang dikenal dan sangat berpengaruh. Itulah sebabnya Belanda mengadakan pendekatan terhadap Kerajaan Palu. Belanda pertama kali berkunjung ke Palu pada masa kepemimpinan Raja Maili (Mangge Risa) untuk mendapatkan perlindungan dari Manado di tahun 1868. Pada tahun 1888, Gubernur Belanda untuk Sulawesi bersama dengan bala tentara dan beberapa kapal tiba di Kerajaan Palu, mereka pun menyerang Kayumalue. Setelah peristiwa perang Kayumalue, Raja Maili terbunuh oleh pihak Belanda dan jenazahnya dibawa ke Palu. Setelah itu ia digantikan oleh Raja Jodjokodi, pada tanggal 1 Mei 1888 Raja Jodjokodi menandatangani perjanjian pendek kepada Pemerintah Hindia Belanda.
Berikut daftar susunan raja-raja Palu :
1. Pue Nggari (Siralangi) 1796 - 1805
2. I Dato Labungulili 1805 - 1815
3. Malasigi Bulupalo 1815 - 1826
4. Daelangi 1826 - 1835
5. Yololembah 1835 - 1850
6. Lamakaraka 1850 - 1868
7. Maili (Mangge Risa) 1868 - 1888
8. Jodjokodi 1888 - 1906
9. Parampasi 1906 - 1921
10. Djanggola 1921 - 1949
11. Tjatjo Idjazah 1949 - 1960
Tjatjo Idjazah
Raja Palu Terakhir (1949 - 1960)


Setelah Tjatjo Idjazah, tidak ada lagi pemerintahan raja-raja di wilayah Palu. Setelah masa kerajaan telah ditaklukan oleh pemerintah Belanda, dibuatlah satu bentuk perjanjian “Lange Kontruct” (perjanjian panjang) yang akhirnya dirubah menjadi “Karte Vorklaring” (perjanjian pendek). Hingga akhirnya Gubernur Indonesia menetapkan daerah administratif berdasarkan Nomor 21 Tanggal 25 Februari 1940. Kota Palu termasuk dalam Afdeling Donggala yang kemudian dibagi lagi lebih kecil menjadi Arder Afdeling, antara lain Order Palu dengan ibu kotanya Palu, meliputi tiga wilayah pemerintahan Swapraja, yaitu :
1. Swapraja Palu
2. Swapraja Dolo
3. Swapraja Kulawi

Pertumbuhan Kota Palu setelah Indonesia merebut kemerdekaan dari tangan penjajah Belanda kemudian Jepang pada tahun 1945 semakin lama semakin meningkat. Dimana hasrat masyarakat untuk lebih maju dari masa penjajahan dengan tekat membangun masing-masing daerahnya. Berkat usaha makin tersusun roda pemerintahannya dari pusat sampai ke daerah-daerah. Maka terbentuklah daerah Swatantra tingkat II Donggala sesuai peraturan pemerintah Nomor 23 Tahun 1952 yang selanjutnya melahirkan Kota Administratif Palu yang berbentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1978.
Berangsur-angsur susunan ketatanegaraan RI diperbaiki oleh pemerintah pusat disesuaikannya dengan keinginan rakyat di daerah-daerah melalui pemecehan dan penggabungan untuk pengembangan daerah, kemudian dihapuslah pemerintahan Swapraja dengan keluarnya peraturan yang antara lain adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 serta Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 Tentang Terbentuknya Dati I Propinsi Sulteng dengan Ibukota Palu.
Dasar hukum pembentukan wilayah Kota Administratif Palu yang dibentuk tanggal 27 September 1978 atas Dasar Asas Dekontrasi sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Kota Palu sebagai Ibukota Propinsi Dati I Sulawesi Tengah sekaligus ibukota Kabupaten Dati II Donggala dan juga sebagai ibukota pemerintahan wilayah Kota Administratif Palu. Palu merupakan kota kesepuluh yang ditetapkan pemerintah menjadi kota administratif.
Sebagai latar belakang pertumbuhan Kota Palu dalam perkembangannya tidak dapat dilepaskan dari hasrat keinginan rakyat di daerah ini dalam pencetusan pembentukan Pemerintahan wilayah kota untuk Kota Palu dimulai sejak adanya Keputusan DPRD Tingkat I Sulteng di Poso Tahun 1964. Atas dasar keputusan tersebut maka diambil langkah-langkah positif oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dan Pemerintah Dati II Donggala guna mempersiapkan segala sesuatu yang ada kaitannya dengan kemungkinan Kota Palu sebagai Kota Administratif. Usaha ini diperkuat dengan SK Gubernur KDH Tingkat I Sulteng Nomor 225/Ditpem/1974 dengan membentuk Panitia Peneliti kemungkinan Kota Palu dijadikan Kota Administratif, maka pemerintah pusat telah berkenan menyetujui Kota Palu dijadikan Kota Administratif dengan dua kecamatan yaitu Palu Barat dan Palu Timur.
Berdasarkan landasan hukum tersebut maka pemerintah Kotif Palu memulai kegiatan menyelenggarakan pemerintahan di wilayah berdasarkan fungsi sebagai berikut :
a. Meningkatkan dan menyesuaikan penyelenggaraan pemerintah dengan perkembangan kehidupan politik dan budaya perkotaan.
b. Membina dan mengarahkan pembangunan sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi dan fisik perkotaan.
c. Mendukung dan merangsang secara timbal balik pembangunan wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah pada umumnya dan Kabupaten Dati II Donggala.

Hal ini berarti pemerintah wilayah Kotif Palu menyelenggarakan fungsi-fungsi yang meliputi bidang-bidang :
1. Pemerintah
2. Pembina kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya perkotaan
3. Pengarahan pembangunan ekonomi, sosial dan fisik perkotaan

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tanggal 12 Oktober 1994, Mendagri Yogi S. Memet meresmikannya Kotamadya Palu dan melantik Rully Lamadjido, SH sebagai walikotanya. Kota Palu terletak memanjang dari timur ke barat disebelah utara garis katulistiwa dalam koordinat 0,35 – 1,20 LU dan 120 – 122,90 BT. Luas wilayahnya 395,06 km2 dan terletak di Teluk Palu dengan dikelilingi pegnungan. Kota Palu terletak pada ketinggian 0 – 2500 m dari permukaan laut dengan keadaan topografis datar hingga pegunungan. Sedangkan dataran rendah umumnya tersebut disekitar pantai.
Berikut batas-batas wilayah Kota Palu adalah :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Tawaeli dan Kecamatan Banawa
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Marawola dan Kabupaten Sigi
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Banawa dan Kecamatan Marawola
- Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Tawaeli dan Kabupaten Parimo


KADANGKALA KITA SERING MELUPAKAN TENTANG KOTA KITA SENDIRI!!
      Semoga saja blog ini bisa mengigatkan kita tentang sejarah kota kita sendiri .

                                            DAMN ...
                                         I LOVE PALU 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Suku Pedalaman di Sulawesi Tengah

 Suku - Suku di Sulawesi Tengah

Suku Kaili, Sulawesi

suku Kaili 
Suku Kaili, adalah salah satu suku di provinsi Sulawesi Tengah yang tersebar di kabupaten Donggala, kabupaten Sigi dan di kota Palu. Selain itu suku Kaili ini juga tersebar di seluruh daerah lembah antara gunung Gawalise, gunung Nokilalaki, Kulawi dan gunung Raranggonau. Mereka juga menghuni wilayah pantai timur Sulawesi Tengah, meliputi kabupaten Parigi-Moutong, kabupaten Tojo-Unauna dan kabupaten Poso.
Dalam kalangan orang Kaili, mereka menyebut diri mereka dengan istilah "to" di depan nama suku, yaitu To Kaili. "To" berarti "orang", "To Kaili" berarti "orang Kaili".
Istilah Kaili, menurut penuturan masyarakat suku Kaili, adalah berasal dari nama sebuah pohon yang banyak tumbuh di kawasan ini, terutama di tepian sungai Palu dan Teluk, yaitu pohon Kaili.
suku Kaili Unde
Bahasa Kaili, adalah bahasa utama suku Kaili. Bahasa Kaili memiliki 20 dialek bahasa, yang memiliki karakter sendiri serta perbedaan masing-masing antara satu dialek dengan dialek yang lain. Keunikan bahasa Kaili adalah kadang 2 kampung yang hanya berbeda jarak cuma 2 km saja, memiliki bahasa yang berbeda.
suku Kaili Ledo 
Salah satu dialek bahasa Kaili, adalah dialek Ledo, yang diucapkan oleh suku Kaili Ledo. "Ledo" berarti "tidak". Bahasa Ledo ini dapat digunakan berkomunikasi dengan bahasa-bahasa Kaili lainnya. Bahasa Ledo yang asli (belum dipengaruhi bahasa para pendatang), ditemukan di sekitar Raranggonau dan Tompu. Sementara, bahasa Ledo yang dipakai di daerah kota Palu, Biromaru, dan sekitarnya sudah terasimilasi dan terkontaminasi dengan beberapa bahasa para pendatang terutama bahasa Bugis dan bahasa Melayu.
Beberapa sub-suku Kaili, dengan dialek bahasa, adalah:
  • Ado (daerah Sibalaya, Sibovi dan Pandere)
  • Baras
  • Bare'e (daerah Touna, Tojo, Unauna dan Poso)
  • Bunggu (di Sulawesi Barat)
  • Da'a
  • Doi (daerah Pantoloan dan Kayumalue)
  • Edo (daerah Pakuli dan Tuva)
  • Ija (daerah Bora dan Vatunonju)
  • Ledo
  • Lindu (To Lindu):
    (4 komunitas adat, anak sub-suku)
    • Anca
    • Tomado
    • Langko
    • Puroo
  • Moma (Ngata Toro)
  • Pamona (kabupaten Poso)
  • Pekurehua
  • Rai (daerah Tavaili sampai ke Tompe)
  • Sarudu
  • Sedoa
  • Tado
  • Tara (daerah Talise, Lasoani, Kavatuna dan Parigi)
  • Tohulu
  • Tau Ta'a (kab. Tojo Una Una)
  • Uma
  • Unde
Semua nama sub-suku diatas, diartikan sebagai "tidak".
Pada saat sebelum memeluk agama, suku Kaili menganut animisme, pemujaan kepada roh nenek moyang dan dewa sang Pencipta (Tomanuru), dewa Kesuburan (Buke/Buriro)dan dewa Penyembuhan (Tampilangi). Beberapa upacara adat yang mengandung unsur dinamisme, yaitu: Pesta Perkimpoian (no-Rano, no-Raego, kesenian berpantun muda-mudi), Upacara Kematian (no-Vaino, menuturkan kebaikan orang yang telah meninggal), Upacara Panen (no-Vunja, penyerahan sesaji kepada Dewa Kesuburan) dan Upacara Penyembuhan Penyakit (no-Balia, memasukkan ruh untuk mengobati orang yg sakit).
Setelah masuknya agama Islam dan Kristen, Pesta Perkimpoian dan Upacara Kematian pun disesuaikan antara upacara adat setempat dengan upacara menurut agama penganutnya. Demikian juga upacara yang mengikuti ajaran Islam seperti: Khitan (Posuna), Khatam (Popatama) dan gunting rambut bayi usia 40 hari (Niore ritoya), penyelenggaraannya dilaksanakan berdasarkan ajaran agama Islam.
Suku Kaili memiliki beberapa alat musik yang sering digunakan pada setiap acara kesenian suku Kaili antara lain : Kakula (disebut juga gulintang, sejenis alat musik pentatonis), Lalove (serunai), nggeso-nggeso (rebab berdawai dua), gimba (gendang), gamba-gamba (melodi datar-kecil), goo (gong) dan suli (suling).
Salah satu kerajinan suku Kaili yang terkenal adalah sarung tenun yang dikenal sebagai Buya Sabetetapi, yang bagi masyarakat umum disebut Sarung Donggala. Kain sarung Buya Sabetetapi, memiliki beberapa jenis tenunan berdasarkan motifnya, yaitu Bomba, Subi atau Kumbaja. Selain itu di daerah Kulawi terdapat juga bahan pakaian yang diproses dari kulit kayu yang disebut Katevu. Pakaian dari kulit Kayu Katevu ini sebagian besar dipakai oleh para perempuan dalam bentuk rok dan baju adat.
Beberapa alat senjata perang yang digunakan oleh suku Kaili diantaranya : Guma (sejenis parang), Pasatimpo (sejenis keris), Toko (tombak), Kanjai (tombak trisula), Kaliavo (perisai).
Masyarakat suku Kaili pada umumnya bermatapencaharian pada bidang pertanian, terutama pada tanaman padi di sawah, menanam jagung di ladang dan mereka juga menanam tanaman keras seperti kelapa. Di samping itu masyarakat suku Kaili yang tinggal di dataran tinggi mereka juga memanfaatkan hasil hutan seperti rotan, damar dan kemiri dan beternak. Sedangkan masyarakat suku Kaili yang hidup di pesisir pantai, sebagian bertani dan berkebun serta hidup sebagai nelayan dan berdagang antar pulau ke pulau-pulau terdekat.
Istilah kekerabatan suku Kaili:
  • ayah = tuama = papa, bapak
  • ibu = ina = mama, ina
  • kakek = tua balailo = tua
  • nenek = tina bangaile = tua
  • tante = pinotina = ema
  • suami = berei langgai = mangge atau toma i dei / ojo
  • istri = berei mombine = ina i dei / ojo
  • keponakan = pinoana = dipanggil nama saja
  • ipar = era = dipanggil nama saja
  • mertua = matua = matua
  • anak mantu = mania = panggil nama saja
  • cucu = makumpu = kumpu
  • anak kandung = ana = ojo (anak laki-laki)
  • saudara sepupu = saro sanggani = suvu (atau panggil nama saja)
  • paman = mangge = mangge
  • Saudara = sampe suvu = panggil nama saja

Suku Banggai Sulawesi Tengah

    Suku Banggai merupakan suku asli yang mendiami kepulauan Banggai di kabupaten Banggai Kepulauan dan kabupaten Banggai di provinsi Sulawesi Tengah. Suku Banggai terdiri dari dua kelompok, yaitu suku Banggai Kepulauan yang berada di kabupaten Banggai Kepulauan provinsi Sulawesi Tengah, dan suku Sea-sea (atau suku Banggai Pegunungan) yang berada di daerah pegunungan di kabupaten Banggai provinsi Sulawesi Tengah.
Di kabupaten Banggai sebenarnya terdapat tiga suku bangsa, yaitu suku Banggai, suku Saluan dan suku Balantak, tetapi ketiga suku ini berbeda dan masing-masing memiliki adat dan kebudayaan sendiri-sendiri. Suku Banggai dianggap sebagai penduduk asli wilayah ini. Sedangkan suku Saluan dan suku Balantak, merupakan pendatang dari wilayah lain di luar wilayah Banggai.
Adat istiadat dan kebudayaan yang tumbuh dan berkembang sejak zaman Kerajaan Banggai sebenarnya sangat banyak, tapi kini adat-istiadat dan budaya tersebut telah banyak yang ditinggalkan atau dilupakan.
Pada masa dahulu di wilayah suku Banggai ini pernah berdiri sebuah kerajaan yang memiliki kekuasaan yang setengah dari wilayah Sulawesi Tengah, yaitu Kerajaan Banggai. Suku Banggai berkomunikasi di antara mereka menggunakan bahasa Banggai, yang memiliki beberapa dialek yang tersebar di beberapa kecamatan di kabupaten Banggai maupun di kabupaten Banggai Kepulauan. Bahasa Banggai merupakan anak cabang Malayo-Polinesia. Di samping di wilayah-wilayah inti suku Banggai, mereka juga tersebar di pesisir Sulawesi Tengah, Maluku, dan Maluku Utara.
Dalam kehidupan suku Banggai, musyawarah adat (Seba Adat) merupakan wadah untuk mempertahankan adat istiadat yang ada pada masing-masing suku di kerajaan Banggai. Masyarakat suku Banggai sangat patuh terhadap adat istiadat mereka.
Seba Adat diadakan oleh Perangkat Adat atau Kerajaan Banggai oleh Raja, atau Tomundo dalam bahasa Banggai, yang dihadiri oleh Basalo, yaitu sejenis kepala adat dalam cakupan kedaerahan kecamatan atau desa yang dari suku banggai. Sedangkan dari Saluan dan Balantak bernama Bosano dan Bosanyo. Selain Basalo, masih banyak perangkat adat lainnya yang membantu kegiatan Basalo, misalnya Kapitan.
Dalam perangkat kerajaan juga ada yang di sebut Mian Tuu, dan masih banyak lagi jabatan-jabatan adat yang membantu dalam kepengurusan kerajaan Banggai. Kegiatan Seba adat ini diadakan setiap tahunnya untuk Evaluasi hasil kerja atau Program dan perencanaan yang baru dalam setiap gerak masyarakat adat Banggai.
Beberapa tradisi kesenian suku Banggai juga sangat beragam, termasuk kesenian musik, yaitu Batongan, Kanjar, Libul dan lain sebagainya, juga ada tarian, yaitu Onsulen, Balatindak, Ridan dan banyak lagi. Selain itu mereka banyak menyimpan cerita rakyat yang dikenal dengan nama Banunut. Lalu ada lagu-lagu rakyat serta puisi yang terdiri dari Baode dan Paupe.
Masyarakat yang tinggal di tepian pantai dengan masyarakat yang tinggal di pedalaman akan memberikan suatu gambaran yang jauh berbeda dari kesenian, upacara adat, bahkan kehidupan adat sehari-hari tidak banyak menunjukan kesamaan. Contohnya, upacara adat atau perayaan ketika para nelayan telah menangkap ikan. Cara menangkapnya dikenal dengan nama sero.
Mayoritas suku Banggai memeluk agama Islam. Mereka adalah pemeluk agama Islam yang taat. Beberapa tradisi mereka dipengaruhi oleh agama Islam, salah satunya perayaan Maulid Nabi Muhammad saw, yang dirayakan hampir oleh seluruh masyarakat Banggai. Mereka membuat kue Kala-kalas atau Kaakaras. Kue ini tebuat dari tepung beras yang digoreng. Tradisi adat lain, adalah upacara pelantikan Tomundo, upacara pelantikan Basalo dan lain sebagainya.
Masyarakat suku Banggai bermatapencarian yang beragam, mulai dari bidang pertanian pada tanaman padi, kopi, coklat, jagung, ubi dan lain-lain. Selain itu mereka juga banyak yang menjadi nelayan. Kegiatan lain adalah berburu (Baasu), yang merupakan salah satu kegiatan yang dari zaman pra kerajaan Banggai. Berburu masih sering dijumpai di daerah pedalaman, terutama di kawasan Pulau Peling.


SUKU TAU TAA WANA

Secara etnografis, Tau (orang) Taa atau To Wana merupakan sub etnis dari kelompok etnolinguistik Pamona yang mendiami wilayah-wilayah sekitar sungai Bongka, Ulubongka, Bungku Utara dan Barong. Orang Wana memakai dialek Wana yang termasuk di dalam rumpun bahasa Pamona sebagai bahasa pergaulan sehari-hari. Dialek Wana juga disebut dialek Taa, sebuah varian dalam bahasa Pamona (Atkinson, 1992).

Catatan hasil ekspedisi yang dilakukan oleh Walter Kaudern pada tahun 1917-1920, menjumpai sebuah komunitas rumpun Poso-Toradja dengan sebutan To Ampana (Taa) di wilayah pesisir pantai sekitar Tanjung Api sebagaimana layaknya yang terdapat di kawasan aliran sungai Bongka. Di kawasan pedalaman di lengan timur laut Sulawesi, tinggallah sekelompok komunitas asli dari To Ampana (Taa). Juga dijumpai keberadaan mereka di sekitar dan sepanjang DAS Bongka dengan sebutan To Wana, yang berarti “orang yang memiliki hutan/ tinggal di hutan”. Mereka ini bukanlah komunitas yang berbeda, namun merupakan komunitas yang sama dengan To Ampana, hanya saja mereka tinggal di kawasan pedalaman hutan. Selanjutnya menurut Kaudern dengan mengutip catatan Kruyt, To Wana ini tinggal di kawasan berlembah sepanjang aliran sungai Bongka, dimana tempat-tempat yang masih terekam dalam catatan tersebut antara lain : Bongka Soa, Bintori, Karato, ngKananga, Karoepa, dan Bone Bae.
Berdasarkan asal usul orang Taa-Wana, Kruyt (1930) membagi orang Wana dalam empat suku besar, yakni pertama suku Burangas (dari Luwuk mendiami desa Lijo, Parangisi, Winanga Bino, Uepakatu dan Salubiro); kedua suku Kasiala berasal dari Tojo pantai (Teluk Tomini) yang mendiami desa Manyoe, Sea, juga sebagian desa Winanga Bino, Uepakatu dan Parangisi; ketiga suku Posangke yang berasal dari Poso, menempati wilayah Kajupoli, desa Toronggo, Opo, Uemasi, Lemo dan Salubiro; dan keempat suku Untunu Ue (hulu sungai) mendiami lokasi Ue Waju, Kajumarangka, Salubiro dan Rompi.
Secara linguistik, menurut Alvard (1999) orang Wana bertutur dalam bahasa Taa yaitu sebuah bahasa yang banyak digunakan disekitar kawasan pesisir dan dataran rendah di sekitar Cagar Alam Morowali. Orang Wana Posangke mendiami daerah dataran tinggi yang berlembah di sebelah barat Cagar Alam Morowali, yang lokasi mukimnya tersebar di sepanjang sungai Salato, sungai Sumi’i, sungai Uwe Kiumo dan Uwe Waju. Sumber mata air sungai Salato berhulu di Gunung Tokala dan bermuara di sebelah barat (Teluk Tolo).
Wilayah sebaran utama “Tau Taa Wana”, pada umumnya membentang dari bagian timur dan dan timur laut Cagar Alam Morowali (Kabupaten Morowali) sampai di bagian barat Pegunungan Batui (Kabupaten Banggai) dan Pegunungan Balingara (Kabupaten Poso – sekarang Tojo Una-Una) dalam wilayah tersebut konsentrasi terbesar pemukiman komunal (lipu) mereka, berada di sekitar gunung Tokala, Ponggawa, Katopasa dan lumut.
Masyarakat Adat Taa Wana yang dimaksud adalah kelompok “Wana” yang bermukim di pedalaman hutan dan pegunungan, dengan alasan bahwa kosa kata tersebut tidak menghilangkan cara mereka mengidentifikasi diri dan untuk membedakan mereka dengan komunitas “Topa Taa” yang tidak lagi memenuhi unsur-unsur sebagai masyarakat hukum adat.



Suku Ampana, Sulawesi

suku Ampana
Suku Ampana (To Ampana), adalah salah satu suku asli yang tinggal di pedalaman yang terdapat di provinsi Sulawesi Tengah.
Pada ekspedisi yang dilakukan oleh Walter Kaudern pada tahun 1917-1920,  menemukan suatu komunitas masyarakat di pedalaman yang bernama suku Ampana atau To Ampana atau Taa. Suku Ampana ini oleh Walter Kaudern dikelompokkan ke dalam rumpun Poso-Toraja, yang mendiami wilayah pesisir pantai sekitar Tanjung Api seperti yang terdapat di kawasan aliran sungai Bongka, nun jauh di kawasan pedalaman timur laut Sulawesi Tengah.
Tidak jauh dari wilayah suku Ampana ini, juga dijumpai suatu komunitas masyarakat di sekitar dan sepanjang Daerah Aliran Sungai Bongka dengan sebutan suku Wana atau To Wana, yang berarti "orang yang memiliki hutan" atau "tinggal di hutan". Suku Wana ini sebenarnya adalah suatu komunitas yang tidak terlalu berbeda dengan suku Ampana, tapi mereka menyebut diri mereka sebagai To Wana. Mereka tinggal jauh lebih ke pedalaman hutan dan lebih terasing dari suku Ampana.

seorang ibu
dengan kelelawar
Suku Ampana berbicara dalam bahasa Ampana. Tapi menurut peneliti, bahwa bahasa Ampana ini adalah merupakan dialek Taa, yang merupakan sub-dialek Wana, dan juga sebagai varian dari bahasa Pamona. Antara orang Ampana dan orang Wana, walaupun terdapat perbedaan dalam dialek, tapi di antara mereka bisa saling berkomunikasi dengan baik.
Suku Ampana telah mengenal beberapa praktek pertanian, sehingga sebagian besar masyarakat suku Ampana hidup sebagai petani, pada berbagai tanaman, mulai dari padi, jagung, ubi dan lain-lain. Selain itu mereka juga      memanfaatkan hasil hutan, seperti rotan dan damar.

Suku Da'a, Sulawesi

suku Da'a
Suku Da'a, adalah suatu komunitas adat sebagai penduduk asli yang hidup di kabupaten Sigi. Mereka bermukim di kawasan hutan dan pegunungan.
Suku Da'a adalah salah satu dari kelompok sub-suku Kaili. Suku Da'a berbicara menggunakan bahasa Da’a. Bahasa Da'a memiliki keterkaitan dengan bahasa-bahasa lain yang terdapat di Sulawesi Tengah, terutama banyak memiliki kemiripan dengan bahasa-bahasa dari kelompok sub-suku Kaili, yang banyak tersebar di kabupaten Poso.
Suka Da'a, hidup nomaden, dengan cara berpindah pindah dari hutan ke hutan sambil mencari tempat untuk membuka ladang baru. Setelah hasil tanaman di ladang dipanen, maka mereka akan mencari lahan baru lagi.
Seiring berjalannya waktu, kegiatan ladang berpindah ini semakin mengalami perubahan. Anggota keluarga mereka bertambah banyak. Pertambahan jumlah anggota keluarga membawa konsekuensi pada bertambahnya kebutuhan ekonomi. Pada awalnya mereka membuka hutan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka saja. Tapi karena seringnya mereka bertemu dengan orang luar (pendatang), yang semula hanya sekedar memenuhi kebutuhan domestik berubah menjadi kegiatan bisnis ekonomi. Karena lahan yang mereka buka, dijual kepada para pendatang. Kegiatan ini membuat proses degradasi lahan berlangsung lebih cepat dari yang diperkirakan.
Komunitas suku Da'a yang mendiami hutan yang berada dalam Kawasan Taman Nasional Lore Lindu terdapat 13 KK. Aktifitas perambahan hutan yang mereka lakukan di dalam kawasan menjadi masalah yang dapat merusak pelestarian alam hutan. Untungnya ada tindakan dari pemerintah setempat yang segera memberikan pemahaman bagi masyarakat suku Da'a, melalui kepala desa mereka.
Setelah terjadi pembicaraan antara pemerintah setempat dengan kepala desa suku Da'a, maka komunitas suku Da'a bersedia untuk meninggalkan lokasi perambahan di dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu dan menetap dalam perkampungan di desa Omu. Pemerintah Desa Omu memberikan kemudahan bagi mereka untuk pengurusan administrasi kependudukan. Bahkan 13 KK suku Da’a tersebut mendapatkan prioritas jika ada bantuan bantuan sosial dari pemerintah dan pihak luar.
Suku Da'a, dalam kegiatan tradisionalnya masih melakukan kegiatan supranatural yang mengandung unsur animisme. Mereka sering mengadakan adu kesaktian, seperti perlombaan menginjak bara api. Suku Da'a ini sebagian masih tinggal di rumah pohon (rumah di atas pohon). Kebiasan tinggal di atas pohon ini masih tetap dipertahankan sampai sekarang bagi sebagian suku Da'a. Kegiatan dan tradisi animisme ini, bagi sebagian masyarakat suku Da'a, masih tetap dijalani, walaupun sebenarnya mereka telah memeluk agama

pemukiman suku Da'a
Masyarakat suku Da'a, walaupun pada masa-masa sebelumnya hidup dengan cara berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk membuka ladang. Tapi saat ini mereka, telah mencoba membuka lahan perladangan di sekitar pemukiman mereka di dekat desa Omu. Mereka menanam padi, jagung, ubi dan jenis kacang-kacangan. Di luar kegiatan perladangan, mereka sering melakukan kegiatan berburu binatang liar di hutan, untuk memenuhi kebutuhan protein dengan unsur hewani.


Suku Balantak, Sulawesi

suku Balantak
Suku Balantak, hidup di kabupaten Banggai provinsi Sulawesi Tengah, Indonesia.

Suku Balantak terkait erat dengan latar belakang sejarah mereka dengan suatu tempat bernama Tompotika Pokokbondolong, sebagai tempat asal nenek moyang mereka berawal. Wilayah Tompotika Pokokbondolong pertama kali dihuni oleh suku Gombe di Tononda yang mendiami sekitar kaki gunung Tompotika. Suku Gombe diperkirakan ada di wilayah itu sejak beberapa ribu tahun yang lalu. Suku Gombe saat ini tidak diketahui keberadaannya secara pasti. Tapi masih bisa ditelusuri jejak keturunannya yang hadir pada suku Balantak yang mendiami wilayah kabupaten Banggai saat ini. Bahasa Gombe tetap abadi hingga saat ini, dan tetap terpelihara dan digunakan oleh keturunan suku Gombe, yaitu suku Balantak sebagai bahasa sehari-hari, yang sekarang dikenal sebagai bahasa Balantak.

Suku Balantak adalah suatu suku yang berdomisili di kabupaten Banggai, yang sejak lama hadir di wilayah ini dengan adat istiadatnya. Kehidupan suku Balanta ditopang oleh lingkungan wilayah yang masih alami dengan kekayaan alamnya subur sehingga tidak pernah ada bencana kelaparan di daerah itu.

Dahulu di wilayah ini terdapat 7 kelompok masyarakat yang bersatu dalam Rumpun Pitu Bense Tompotika Pokokbondolong yang berbicara dalam bahasa yang sama, dari keturunan bahasa Gombe, yang mana bahasa Gombe adalah bahasa nenek moyang mereka.. Menurut dugaan, bahwa pada masa penjajahan Belanda, ke-7 kelompok yang bernama Rumpun Pitu Bense Tompotika Pokokbondolong ini, bersatu melawan pasukan kolonial Belanda. Setelah sekian lama mereka berbaur, terjadi proses kawin-campur di antara 7 kelompok ini, sehingga terbentuklah suatu komunitas suku yang disebut sebagai suku Balantak.
Masyarakat suku Balantak pada umumnya hidup pada bidang pertanian. Mereka menerapkan pertanian pada lahan basah dan kering. Tanaman utama mereka adalah padi, dan beberapa jenis tanaman lain seperti jagung, ubi dan lain-lain.\

Suku Buol, Sulawesi

suku Buol
Suku Buol, adalah suku yang terdapat di kabupaten Toli-Toli provinsi Sulawesi Tengah. Tersebar di beberapa daerah kecamatan seperti di Biau, Bunobugu, Paleleh dan Momunu, sebagian kecil tersebar ke daerah dekat wilayah.Gorontalo. Populasi suku Buol diperkirakan lebih dari 75.000 orang.
Masyarakat suku Buol berbicara dalam bahasa Buol, yang masih berkerabat dengan bahasa Toli-Toli. Selain itu bahasa Buol ini juga mirip dengan bahasa Gorontalo. Karena terdapat kemiripan ini, mereka sering dianggap sebagai sub-suku Gorontalo.


Pada masa alu di wilayah suku Buol ini pernah berdiri sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Buol. Diduga orang Buol ini adalah keturunan dari orang-orang dari Kerajaan Buol. Dugaan itu diperkuat dengan adanya sistem penggolongan dalam masyarakat suku Buol, seperti golongan keluarga raja (tan poyoduiya); golongan bangsawan yang masih mempunyai hubungan kerabat dekat dengan raja (tan wayu); golongan yang hubungan kerabat dengan raja sudah jauh (tan wanon); golongan masyarakat (taupat); dan golongan budak, yaitu orang yang melanggar adat atau kalah perang. Pada masa lalu, setiap golongan memiliki atribut sendiri, yang dapat dilihat dari pakaiannya. Sejak agama Islam masuk di kalangan masyarakat suku Buol, maka sistem penggolongan sudah banyak ditinggalkan. Saat ini, penggolongan masyarakat lebih didasarkan pada status berdasarkan tingkat pendidikan.

Suku Buol memiliki kearifan adat yang merupakan kebiasaan dan berhubungan dengan perlindungan sumber daya alam, baik berupa tanah, air, alam dan hutan.
Agama Islam menjadi agama mayoritas di kalangan suku Buol. Mereka adalah penganut Islam yang taat, dan agama Islam memiliki pengaruh yang kuat dala kehidupan mereka. Namun demikian, banyak dari mereka yang masih percaya bahwa alam gaib berpengaruh dalam kehidupan dan hasil panen mereka. Mereka takut pada tempat-tempat keramat dan sering mencari bantuan dukun untuk mengobati anggota mereka yang sakit atau mengusir roh-roh jahat.

Sistem Pemerintahan Adat suku Buol:
  • Ta Bwulrigan (orang yang diusung), seseorang yang diangkat menjadi kepala pemerintahan adat beserta pembantunya untuk mengurus urusan-urusan pemerintahan dan kemasyarakatan.
  • Ta Mogutu Bwu Bwulrigon (pembuat usungan), sebagai pembuat peraturan adat (pengambil keputusan sekaligus memilih kepala pemerintahan). 
  • Ta Momomayungo Bwu Bwulrigon (orang yang memayungi usungan), adalah pengayom masyarakat dan penegak hukum adat/ pemangku adat yang disebut hukum Duiyano Butako.
  • Ta Momulrigo Bwu Bwulrigon (pengusung usungan), adalah yang memastikan seluruh masyarakat adat untuk taat dan patuh terhadap hukum adat.


Masyarakat suku Buol sebagian besar hidup dari pertanian padi pada lahan sawah dan ladang. Mereka juga menanam kelapa dan cengkeh, yang menjadi komoditi ekspor. Hasil hutan juga menjadi sumber pendukung hidup bagi mereka, dengan mangumpulkan rotan, damar, kayu manis, dan gula merah. Sedangkan yang tinggal di daerah pesisir berprofesi sebagai nelayan. Bidang profesi lain adalah sebagai pedagang, guru dan lain-lain.

sumber:
  • masyarakatadat.org
  • mactrem.blogspot.com
  • sabda.org
sumber lain dan foto:
  • akudansecangkircerita.blogspot.com
  • regionaltimur.com
 SUKU TOLI-TOLI
Rumpun : Tomini
Wilayah : Sulawesi
Jumlah Penduduk : 28.000
Persentase Kristen : 0,02%
Kristen yang diketahui : 6
Alkitab : Belum
Film Yesus : Belum
Suku ini terletak di Kecamatan Boalan Galang, Toki-Toli, Dampal Utara, Dampal Selatan dan Dondo, di Kabupaten Buol Toli-Toli, Propinsi Sulawesi Tengah. Suku Toli-Toli digolongkan dalam rumpun Tomini dan termasuk suku terasing. Daerahnya merupakan dataran tinggi terjal dan terdapat dataran rendah di sepanjang pesisir pantai Toli-Toli. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Toli-Toli. Kabupaten Toli-Toli penghasil cengkeh terbesar di Sulawesi, selain juga bertani, menangkap ikan dan mencari hasil hutan. Menurut pemantauan, baru segelintir orang yang mengaku percaya kepada Tuhan Yesus, di antara puluhan ribu orang Toli-Toli. Itu berarti menjadi tugas kita untuk menyampaikan Kabar Baik kepada siapa saja yang membutuhkan berita itu. Sejauh ini belum ada perintisan yang serius ke sana.
  1. Segelintir orang yang sudah percaya ini sebenarnya sangat berharga dan mulia status mereka di hadapan Allah. Biarlah Ia yang berkenan memelihara mereka dan melindungi mereka dari si jahat.
  2. Program pendidikan dapat membebaskan suku ini dari ketinggalan dengan suku lain. Kesehatan masyarakat agar lebih ditingkatkan oleh Pemda setempat. Doakan pula tokoh-tokoh masyarakat agar dibukakan hati mereka kepada Injil.
  3. Biarlah Allah memanggil anak-anak-Nya yang siap sedia melayani sesuai kondisi orang Toli-Toli. Petobat suku memiliki beban melayani saudaranya sendiri. Doakan keberanian dari Roh Kudus untuk melayani.
  4. Doakan supaya ada petugas yang rela menerjemahkan bagian Alkitab dalam bahasa Toli-Toli maupun kaset rohani. Doakan kesehatan, kekuatan dan kehidupan dalam daerah pelayanan.

SUKU TOMINI
Rumpun : Tomini
Wilayah : Sulawesi
Jumlah Penduduk : 44.000
Kristen yang diketahui : 0
Persentase Kristen : 0%
Alkitab : Belum
Film Yesus : Belum
Orang Tomini mendiami sebagian wilayah Kabupaten Donggala, Propinsi Sulawesi Tengah. Wilayah asalnya meliputi Kec. Tomini, Kec. Tinombo dan Kec. Moutong. Orang Tomini memiliki bahasa sendiri yaitu bahasa Tomini, yang terbagi atas tiga dialek, yaitu dialek memotong tanah genting, tidak jauh dari sebelah utara Tambu. Walaupun keadaan ekonomi yang tak produktif, namun pendidikan Tomini enggan meninggalkan sukunya yang sejak dahulu merupakan tempat kediaman nenek moyang mereka. Alam Tomini telah menyatu dengan penduduknya, sehingga sulit dipisahkan. Akankah Anda mau menyerahkan diri untuk melayani suku ini? Orang Tomini bukan saja mengalami kesengsaraan jasmani tetapi lebih lagi rohani!
  1. Kita berdoa supaya Allah mencukupkan curah hujan, bagi keperluan masyarakat Tomini. Juga supaya Tuhan memberi mereka hikmat untuk mengolah tanah dengan baik.
  2. Berdoalah untuk beberapa orang percaya pendatang di sana supaya Tuhan tetap memelihara iman mereka, juga supaya mereka menjadi saksi yang hidup bagi orang Tomini.
  3. Kita tetap memohon agar Tuhan mengutus pekerja-pekerja ke orang Tomini untuk melayani mereka dengan setia.
  4. Kita tetap memohon agar Tuhan mengutus pekerja-pekerja ke orang Tomini untuk melayani mereka dengan setia.
  5. Doakan juga pemerintah daerah agar arif dan bijaksana dalam program pembangunan sesuai kebutuhan masyarakat Tomini.
SUKU DAMPELASA
Rumpun : Tomini
Wilayah : Sulawesi
Jumlah Penduduk : 13.000
Persentase Kristen : 0,023%
Kristen yang diketahui : 5
Alkitab : Belum
Film Yesus : Belum
Suku Dampelasa terletak di Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah. Daerah ini kaya akan bahan alam, misalnya, marmer, sirtu, bagu gamping, koalin, mika dsbnya. Kekayaan tidak selalu memberi jaminan hidup atau dapat memberi nilai/arti hidup bagi orang Dampelasa. Kalau pun ada sifatnya sementara. Orang Dampelasa percaya bahwa nenek moyang mereka adalah Tomanmuru, yakni orang menjelma dari tumbuhan-tumbuhan tertentu, sebagai titisan Dewa Khayangan. Tapi kita bersyukur dan memuji akan Dia sudah menyelamatkan tiga atau lebih warga suku ini percaya kepada Yesus Kristus. Hanya Dia yang dapat memberi jaminan kekal kepada manusia. Mari membagi berkat bagi suku ini agar mengenal jalan, kebenaran, dan hidup.
  1. Beberapa orang percaya dari suku ini membuktikan Allah mengasihi mereka. Kita doakan supaya mereka tetap setia dalam iman kepada Tuhan Yesus. Agar mereka juga menjadi saksi yang trampil.
  2. Doakan tokoh masyarakat, pemda, tenaga medis, pendidik yang bekerja di sana supaya semakin dan bekerja dengan penuh tanggung jawab dan memuliakan Tuhan.
  3. Para pelayan yang trampil, setia, beriman dan tekun dibutuhkan untuk membuka perintisan pelayanan di suku ini, disertai dengan penerjemahan bagian Alkitab dan bahan rohani yang lain sebagai sarana pelayanan untuk mendukung pekerjaan Tuhan di suku ini. Doakan tenaga lapangan yang bekerja di sana.
  4. Kuasa-kuasa penghalang Injil dapat disingkirkan dan memudahkan suku ini siap dituai. Allah berkenan mengampuni dan memperbaharui hidup mereka.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Flora & Fauna Sulawesi Tengah

Flora & Fauna Sulawesi Tengah

Flora & Fauna

Seorang Naturalis Inggris A.R. Wallace mengeluarkan suatu pernyataan yang disebut garis Wallace yang membusur dari Bali dan Lombok menuju ke antara Kalimantan dan Sulawesi, sebelah selatan Philipina dan sebelah utara Hawaii yang menandai perbedaan flora dan fauna pada daratan yang terpisah ketika zaman es.
Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali yang ddikenal sebagai Sunda Besar merupakan bagian paparan Sunda dan faunanya sama dengan fauna daratan Asia. Pulau-pulau di bagian timur Bali yang merupakan bagian daratan Australia merupakan bagian dari paparan Sahul yang meliputi kepulauan Aru, Irian dan Australia. Sulawesi merupakan pulau terpisah dari kedua dataran tersebut, maka tidaklah heran memiliki flora & fauna tersendiri.
Anoa Dataran Rendah (Bubalus depressicornis) sering disebut sebagai Kerbau kecil, karena Anoa memang mirip kerbau, tetapi pendek serta lebih kecil ukurannya, kira-kira sebesar kambing. Spesies bernama latin Bubalus depressicornis ini disebut sebagai Lowland Anoa, Anoa de Ilanura, atau Anoa des Plaines. Anoa yang menjadi fauna identitas provinsi Sulawesi tenggara ini lebih sulit ditemukan dibandingkan anoa pegunungan.
Anoa dataran rendah  mempunyai ukuran tubuh yang relatif lebih gemuk dibandingkan saudara dekatnya anoa pegunungan (Bubalus quarlesi). Panjang tubuhnya sekitar 150 cm dengan tinggi sekitar 85 cm. Tanduk anoa dataran rendah panjangnya 40 cm. Sedangkan berat tubuh anoa dataran rendah mencapai 300 kg.
Anoa dataran rendah dapat hidup hingga mencapai usia 30 tahun yang matang secara seksual pada umur 2-3 tahun. Anoa betina melahirkan satu bayi dalam setiap masa kehamilan. Masa kehamilannya sendiri sekitar 9-10 bulan. Anak anoa akan mengikuti induknya hingga berusia dewasa meskipun telah disapih saat umur 9-10 bulan. Sehingga tidak jarang satu induk terlihat bersama dengan 2 anak anoa yang berbeda usia.
Anoa dataran rendah hidup dihabitat mulai dari hutan pantai sampai dengan hutan dataran tinggi dengan ketinggian 1000 mdpl. Anoa menyukai daerah hutan ditepi sungai atau danau mengingat satwa langka yang dilindungi ini selain membutuhkan air untuk minum juga gemar berendam ketika sinar matahari menyengat.
Anoa pegunungan (Bubalus quarlesi) sering disebut juga sebagai Mountain Anoa, Anoa de montagne, Anoa de Quarle, Berganoa, dan Anoa de montaƱa. Dalam bahasa latin anoa pegunungan disebut Bubalus quarlesi.
Anoa pegunungan mempunyai ukuran tubuh yang lebih ramping dibandingkan anoa datarn rendah. Panjang tubuhnya sekitar 122-153 cm dengan tinggi sekitar 75 cm. Panjang tanduk anoa pegunungan sekitar 27 cm dengan berat tubuh dewasa sekitar 150 kg. Anoa pegunungan berusia antara 20-25 tahun yang matang secara seksual saat berusia 2-3 tahun. Seperti anoa dataran rendah, anoa ini hanya melahirkan satu bayi dalam setiap masa kehamilan yang berkisar 9-10 bulan. Anak anoa akan mengikuti induknya hingga berusia dewasa meskipun telah disapih saat umur 9-10 bulan. Sehingga tidak jarang satu induk terlihat bersama dengan 2 anak anoa yang berbeda usia.
Anoa pegunungan berhabitat di hutan dataran tinggi hingga mencapai ketinggian 3000 mdpl meskipun terkadang anoa jenis ini terlihat turun ke pantai untuk mencari garam mineral yang diperlukan dalam proses metabolismenya.
Anoa pegunungan cenderung lebih aktif pada pagi hari, dan beristirahat saat tengah hari. Anoa sering berlindung di bawah pohon-pohon besar, di bawah batu menjorok, dan dalam ruang di bawah akar pohon atau berkubang di lumpur dan kolam. Tanduk anoa digunakan untuk menyibak semak-semak atau menggali tanah Benjolan permukaan depan tanduk digunakan untuk menunjukkan dominasi, sedangkan pada saat perkelahian, bagian ujung yang tajam menusuk ke atas digunakan dalam upaya untuk melukai lawan. Ketika bersemangat, anoa pegunungan mengeluarkan suara “moo”.
Populasi dan Konservasi Anoa. Anoa semakin hari semakin langka dan sulit ditemukan. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) yang menjadi maskot provinsi Sulawesi Tenggara tidak pernah terlihat lagi. Karena itu sejak tahun 1986, IUCN Redlist memasukkan kedua jenis anoa ini dalam status konservasi “endangered” (Terancam Punah).
Selain itu CITES juga memasukkan kedua satwa langka ini dalam Apendiks I yang berarti tidak boleh diperjual belikan. Pemerintah Indonesia juga memasukkan anoa sebagai salah satu satwa yang dilindungi dalam Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Beberapa daerah yang masih terdapat satwa langka yang dilindungi ini antaranya adalah Cagar Alam Gunung Lambusango, Taman Nasional Lore-Lindu dan TN Rawa Aopa Watumohai (beberapa pihak menduga sudah punah).
Anoa sebenarnya tida mempunyai musuh (predator) alami. Ancaman kepunahan satwa endemik Sulawesi ini lebih disebabkan oleh deforestasi hutan (pembukaan lahan pertanian dan pemukiman) dan perburuan yang dilakukan manusia untuk mengambil daging, kulit, dan tanduknya.
Pada tahun 2000, masyarakat Kabupaten Buton dan Konawe Selatan dibantu pihak BKSDA pernah mencoba untuk membuka penangkaran anoa. Tetapi usaha ini akhirnya gagal lantaran perilaku anoa yang cenderung tertutup dan mudah merasa terganggu oleh kehadiran manusia sehingga dari beberapa spesies yang ditangkarkan tidak satupun yang berhasil dikawinkan.
Tahun 2010 ini, Taman Nasional Lore-Lindu akan mencoba melakukan penangkaran satwa langka yang dilindungi ini. Semoga niat baik ini dapat terlaksana sehingga anoa datarn rendah (Bubalus depressicornis) dan Anoa Pegunungan (Bubalus quarlesi) dapat lestari dan menjadi kebanggan seluruh bangsa Indonesia seperti halnya Panser Anoa buatan Pindad.
Kera Hitam Sulawesi (Macaca nigra)
Merupakan jenis primata yang mulai langka dan terancam kepunahan. Kera Hitam Sulawesi yang dalam bahasa latin disebut Macaca nigra merupakan satwa endemik Sulawesi Utara.
Kera Hitam Sulawesi selain mempunyai bulu yang berwarna hitam juga mempunyai ciri yang unik dengan jambul di atas kepalanya. Kera yang oleh masyarakat setempat disebut Yaki ini semakin hari semakin langka dan terancam punah. Bahkan oleh IUCN Redlist digolongkan dalam status konservasi Critically Endangered (Krisis).
Kera Hitam Sulawesi sering juga disebut monyet berjambul. Dan oleh masyarakat setempat biasa dipanggil dengan Yaki, Bolai, Dihe. Dalam bahasa Inggris primata langka ini disebut dengan beberapa nama diantaranya Celebes Crested Macaque, Celebes Black ape, Celebes Black Macaque, Celebes Crested Macaque, Celebes Macaque, Crested Black Macaque, Gorontalo Macaque, Sulawesi Macaque. Dalam bahasa latin (ilmiah) Kera Hitam Sulawesi dinamai Macaca nigra yang bersinonim dengan Macaca lembicus (Miller, 1931) Macaca malayanus (Desmoulins, 1824).
Ciri-ciri Kera Hitam Sulawesi. Kera Hitam Sulawesi (Macaca nigra) mempunyai ciri-ciri sekujur tubuh yang ditumbuhi bulu berwarna hitam kecuali pada daerah punggung dan selangkangan yang berwarna agak terang. Serta daerah seputar pantat yang berwarna kemerahan.
Pada kepala Kera Hitam Sulawesi (Yaki) memiliki jambul. Mukanya tidak berambut dan memiliki moncong yang agak menonjol. Panjang tubuh Kera Hitam Sulawesi dewasa berkisar antara 45 hingga 57 cm, beratnya sekitar 11-15 kg.
Habitat dan Tingkah Laku. Kera Hitam Sulawesi hidup secara berkelompok Besar kelompoknya terdiri antara 5-10 ekor. Kelompok yang besar biasanya terdiri atas beberapa pejantan dengan banyak betina dewasa dengan perbandingan satu pejantan berbanding 3 ekor betina.
Primata yang menyukai jenis–jenis pohon yang tinggi dan bercabang banyak. Sepertti Beringin (Ficus sp) dan Dao (Dracontomelon dao) ini merupakan hewan omnivora, mulai dari buah-buahan hingga serangga. Musuh utama Kera Hitam Sulawesi (Macaca nigra) ini sama seperti tarsius yaitu ular Phyon.Primata  ini banyak menghabiskan waktu di pohon.
Penyebaran Kera Hitam Sulawesi biasanya terfokus di hutan primer pada lokasi yang masih banyak jenis pohon berbuah yang biasa dimakan oleh satwa ini. Daya jelajahnya (home range) selalu menuju ke satu arah dan akan kembali kearah semula dengan daya jelajah antara 0,8–1 km.
Binatang langka ini dapat ditemui di Sulawesi Utara di  Taman Wisata Alam Batuputih, Cagar Alam Gunung Tangkoko Batuangus, Cagar Alam Gunung Duasudara, Cagar Alam Gunung Ambang, Gunung Lokon dan Tangale. Juga dibeberapa pulau seperti di pulau Pulau Manadotua and Pulau Talise, Pulau Lembeh (kemungkinan telah punah), termasuk di Pulau Bacan (Maluku).
Konservasi. Kera Hitam Sulawesi merupakan satwa yang dilindungi di Indonesia berdasarkan UU RI No.5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah RI No.7 Tahun 1999. Populasi Kera Hitam Sulawesi berdasarkan data tahun 1998 diperkirakan kurang dari 100.000 ekor. Jumlah ini diyakini semakin mengalami penurunan. Penurunan popolasi ini sebagian besar diakibatkan oleh perburuan liar.
Karena jumlah populasinya yang semakin menurun, IUCN Redlist memasukkan Kera Hitam Sulawesi dalam daftar status konservasi Critically Endangered (kritis) sejak tahun 2008. Dan CITES juga memasukkan satwa endemik ini sebagai Apendix II.
babi rusa yang berbulu sedikit dan memiliki taring pada mulutnya, tupai sulawesi yang berwarna-warni yang merupakan faritas binatang berkantung serta burung Maleo yang bertelur pada pasir yang panas.
Hutan Sulawesi juga memiliki ciri tersendiri yang didominasi kayu agatis yang berbeda dengan Sunda Besar yang didominasi oleh pinangan-pinangan (yang spesiesnya disebutrhododenron).
Variasi flora dan fauna merupakan obyek penelitian dan pengkajian ilmiah. Untuk melindungi flora dan fauna tersebut telah ditetapkan taman nasional atau suaka alam seperti Taman Nasional Lore, suaka alam Morowali, suaka alam Tanjung Api dan suaka alam di Bangkirian untuk melindungi burung Maleo. Taman Nasional Lore Lindu yang terletak di sebelah selatan Donggala dan bagian barat Kabupaten Poso memiliki luas wilayah 131.000 ha. Dengan dikelilingi oleh puncak Nokilalaki yang mencapai ketinggian 2.355 m, Danau Lindu masih dapat dilihat. Di taman ini terdapat pula patung-patung prasejarah yang terdapat di Napu, Beso dan Bada. Variasi flora dan fauna yang dilindungi mencakup babi rusa, Anoa dan Tangkasi.
Suaka margasatwa lain juga terdapat di Tanjung Api yang berlokasi di Ampana, 156 km dari Poso. Di sini Anoa dan Babi Rusa ditemukan disepanjang pantai dan juga terdapat gas alam yang menyemburkan lidah api.
Morowali sebuah suaka alam di Petasia yang memiliki hutan tropis yang masih asli. Pohon-pohon agatis tumbuh disini pada dataran rendah dan payau. Morowali dapat dicapai 1½ jam dari Kolonodale dengan motor laut. Anggrek hitam yang terkenal ditemukan di Morowali, Bancea, Kulawi dan tempat-tempat lainnya.
Sulawesi Kingfisher – photo by Stijn De Win
Lilac-cheeked Kingfisher
Tarcia
Sulawesi Crested Macaque
Ashy Woodpecker
Green-backed Kingfisher
Sulawesi Hawk Eagle
Burung Gagak Banggai (Corvus unicolor)
Burung Gagak Banggai Sulawesi hewan yang dianggap punah 100 tahun lamanya masih hidup di habitat aslinya! Sayangnya sekarang jadi spesies langka dan diambang kepunahan. Mungkin kalo dicari, burung Dodo asli Australia mungkin masih ada yang hidup ya di suatu pulau nan jauh.
Diberitakan oleh Kompas, Gagak banggai (Corvus unicolor) yang dikira telah punah sejak seabad lalu ternyata masih ditemukan di habitat aslinya. Burung tersebut adalah salah satu spesies gagak khas Indonesia yang hidup di Pulau Peleng, Sulawesi.
Selama ini, para ilmuwan hanya mengetahui jejak kehidupan gagak tersebut dari dua ekor spesimennya yang ditangkap tahun 1900. Kedua sampel gagak Banggai itu disimpan di Museum Sejarah Alam Amerika di New York.
Namun, pada tahun 2007, seorang ilmuwan dari Universitas Indonesia bernama Mochamad Indrawan menemukanya kembali di habitat yang sama. Spesimen tersebut kemudian dikirim kepada Pamela Rasmussen, ahli zoologi dari Michigan State University untuk dicocokkan dengan spesies lain yang selama ini disimpan.
Banggai Cardinal
Bentuknya mirip capung. Ikan Banggai Cardinal (Pterapogon Kauderni) hanya ditemukan di perairan Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah (endemik).

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS